Pesawat udara nir awak (PUNA) atau
Unmanned Aerial Vehicles (UAV) merupakan salah satu teknologi terbaru
yang kini banyak digunakan di dunia militer sebagai pesawat pengintai
atau pesawat mata-mata. Dalam sejarah perang modern, pesawat tanpa awak
ini digunakan pertama kali oleh pasukan Amerika Serikat ketika pasukan
aggressor Paman Sam itu menginvasi negeri 1001 malam Irak pada tahun
2003.
Selain di dunia militer, pesawat tanpa
awak juga banyak digunakan dalam kegiatan surveillance atau pemantauan
lewat udara seperti untuk mendeteksi terjadinya kebakaran hutan,
pembalakan hutan secara liar, pencurian ikan oleh nelayan asing atau
memantau aktivitas gunung berapi secara visual dan realtime. Pendek
kata, teknologi UAV memang sangat dibutuhkan manusia baik dalam kondisi
perang maupun damai, baik untuk tujuan militer maupun untuk tujuan
sipil.
Demikian juga dengan bangsa Indonesia
yang kini sedang giat membangun negerinya, tentu membutuhkan kegiatan
surveillance ini. Sebab, wilayah Indonesia yang sangat luas dan terdiri
dari puluhan ribu pulau, dimana luas lautannya mencapai 2/3 dari total
luas wilayahnya, sangat membutuhkan bantuan teknologi UAV untuk
memonitor seluruh wilayahnya secara realtime.
Beberapa permasalahan yang belakangan
ini muncul seperti penumpasan teroris maupun gerakan separatis yang
bermarkas di hutan-hutan, pencegahan kasus pencurian ikan di wilayah
territorial Indonesia oleh nelayan asing, kebakaran hutan, illegal
logging, sampai pada kegiatan mitigasi bencana banjir, tsunami, gempa,
gunung meletus dan lain-lain semuanya akan sangat terbantu dengan
pemanfaatan teknologi UAV.
Dengan pertimbangan itu pula lah, kalangan pegiat teknologi di
tanah air, baik perseorangan, perusahaan swasta, BUMN, maupun lembaga
resmi pemerintah, seolah tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi
yang relatif baru itu. Mereka berlomba-lomba melakukan riset dan
pengembangan teknologi UAV demi kemaslahatan dan kemajuan negeri
tercinta.
Salah satu lembaga pegiat teknologi dari kalangan pemerintahan yang
sudah melakukan pengembangan UAV adalah Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT). Lembaga pelat merah ini belum lama ini memperkenalkan
kepada publik pesawat tanpa awak hasil rancang bangunnya yang diberi
nama SRITI. Penampilan Sriti di depan publik pertama kali terjadi di
arena pameran R&D Ritech Expo 2010, bulan Agustus 2010. Selanjutnya
pada pameran pertahanan INDO DEFENCE 2010 di Jakarta International Expo,
Kemayoran, Jakarta pada bulan November 2010 lalu, Sriti kembali
diperkenalkan kepada publik.
Dr. Ir. Abdul Aziz, MSc, anggota tim pengembangan Sriti BPPT
mengatakan Sriti merupakan pesawat tanpa awak 100% ciptaan anak bangsa.
Sebab, penegmbangan pesawat tersebut mulai dari pembuatan desain sampai
dengan pembangunan pesawatnya seluruhnya dilakukan oleh putra putri
Indonesia. Sriti merupakan pesawat kelima yang telah dibuat BPPT.
Sebelumnya Sriti, BPPT juga sudah membuat pesawat Pelatuk, Wulung,
Gagak, dan Alap-alap. Namun demikian, dari kelima pesawat tanpa awak
uitu, baru Sriti yang akan segera memasuki masa tugas di lingkungan
pemerintah.
Rencananya, Sriti akan digunakan oleh Kementerian Kehutanan dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk pengawasan wilayah hutan dan
wilayah laut terluar Indonesia. Penggunaan Sriti dalam kegiatan
pengawasan dan pemantauan wilayah hutan oleh Kementerian Kehutanan
ditujukan untuk mengawasi/memantau wilayah hutan dalam rangkan upaya
deteksi dini kegiatan illegal logging, kebakaran hutan dan lain-lain.
Sedangkan penggunaan Sriti oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
dimaksudkan terutama untuk mencegah kegiatan penetrasi wilayah laut
Indonesia oleh kapal-kapal asing.
Menurut Abdul Aziz, Sriti menggunakan bahan bakar berupa methanol
dengan kapasitas tanki sebesar 1 liter. Dengan menggunakan mesin berdaya
1,75 HP dan dengan bobot total pesawat maksimum 8,5 kg, Sriti mampu
terbang selama 1 jam dengan kecepatan jelajah minimal 55 knot.
Pesawat bertipe sayap bahu (shoulder wing) dan konfigurasi
pendorong tanpa ekor (tailess pusher) ini memiliki rentang sayap (wing
span) 2.838,3 mm dan total panjang pesawat 1.078,1 mm. Terbuat dari
rangka kayu balsa yang diperkuat dengan karbon serta badan pesawat yang
terbuat dari fiber glass, Sriti mampu menjelajahi wilayah dengan radius
jelajah maksimum 40 km pada ketinggian jelajah 3.000 kaki dari permukaan
bumi.
Pesawat Sriti cukup unik karena pesawat ini tidak memiliki roda
untuk lepas landas (take off) maupun untuk mendarat (landing). Untuk
lepas landas, Sriti menggunakan Catapult Take Off, sejenis peluncur
(launcher) terbuat dari logam baja stainless yang bisa dibongkar pasang
setiap saat. Untuk keperluan pendaratan, Sriti menggunakan jaring
penangkap (net catcher) yang terbuat dari bahan yang kuat dan lentur.
Kelebihan desain pesawat Sriti lainnya adalah setiap bagian pesawat
ini dapat dengan mudah dibongkar pasang (collapsible aircraft design).
Bagian-bagian pesawat dapat disimpan dengan rapi di dalam koper pembawa
hingga mudah dibawa kemana-mana.
Untuk keperluan pengawasan dan pemantauan, Sriti dilengkapi dengan
IP Camera yang dapat merekam kejadian atau aktivitas di permukaan bumi.
Selain itu, pesawat tanpa awak ini juga dilengkapi dengan Telemetry
System untuk kebutuhan pentransmisian gambar video yang ditangkap kamera
maupun untuk keperluan pengendalian pesawat dari stasiun pengendali di
darat (ground control station/GCS). GCS terdiri dari remote control yang
digunakan saat lepas landas dan mendarat. Saat di udara, Sriti bergerak
autonomus, sesuai titik-titik yang telah ditentukan di komputer.
Spesifikasi Sriti:
Panjang total: 107,81 cm
rentang sayap: 283,83 cm
Jarak Jelajah maksimum: 40 km
Ketinggian jelajah 3.000 kaki
Bobot total: 8,5 kg
Kapasitas tangki bahan bakar: 1 liter
0 komentar:
Posting Komentar